Untuk Kamu, maha dari segala maha...
Maafkan aku yang selalu mengecewakannya, dan mengecewakanMu.
Maafkan aku yang mudah menggerutu. Mengeluhkan berbagai hal yang sebenarnya indah, bila saat itu aku cukup mengerti maknanya. Aku menggerutu saat Kamu tidak juga mendengarkan pintaku. Aku menggerutu saat Kamu tidak juga meraih tanganku, membantuku bangkit dari kejatuhan yang menyakitkan. Aku menggerutu, selalu menggerutu.
Maafkan aku yang pernah sangat marah padaMu, ketika Kamu akhirnya memanggil seorang sahabatku untuk pulang. Aku marah karena mengira Kamu tidak adil. Demi apapun, Kamu hanya memberinya waktu satu tahun untuk berjuang.
Maafkan aku yang dulu pernah hampir tidak percaya dengan kuasaMu, ketika Kamu tidak juga mengabulkan pintaku. Menempatkan aku dan mereka yang kusayangi di tepian terluar dari tebing yang tinggi, hampir jatuh sebentar lagi.
Tapi, sepatutnyakah aku masih mengeluh sekarang? Saat aku kemudian mengerti, semua yang Kau lakukan untukku itu karena Kamu sayang padaku? Sudah sepatutnya aku berterimakasih karena kamu telah membiarkanku jatuh. Jatuh, hingga ke lubangmu yang paling gelap, paling dalam, paling dingin. Bukankah hanya dengan jatuh kita bisa belajar untuk kembali berdiri? Memang, saat itu aku merasakan sakitnya. Memar, biru, lebam. Namun di akhirnya, bukankah dengan itu aku menjadi semakin kuat, Tuhan? Iya kan?
Tapi dan tapi, aku juga patut berterima kasih padamu karena telah memanggilnya pulang cepat-cepat. Sekarang aku baru mengerti, bahwa bukan karena kamu jahat maka kamu memanggilnya. Justru karena kamu sangat sayang padanya, maka kamu memanggilnya. Bodohnya aku.. bila kamu memberinya tambahan waktu setahun saja, pasti sakit yang dia rasakan akan berlipat ganda. Dan aku, aku serta mereka semua yang menyayanginya, pasti tidak akan tega. maka terima kasih, untuk sedikit waktu yang kamu sediakan untuk dia.
Tapi, tapi dan tapi... aku juga sudah selayaknya berterima kasih padaMu. Kalau saja dulu kamu tidak menempatkanku dan mereka yang kusayangi di tepian terluar tebing yang tinggi, hingga kami bisa melihat betapa dalam-curam-gelap-dan mengerikannya jurang di bawah kami, maka aku tidak akan bisa bersyukur akan nikmatnya memiliki mereka. Kamu membuatku sadar, bahwa keluarga adalah hartaku yang paling berharga. Bahwa keluarga adalah rumahku yang sebenar-benarnya, tempatku berpulang sejauh apapun aku berkelana. Untuk itu, aku berterima kasih.
Pada akhirnya di ujung senja, saat warna langit telah berubah menjadi gradasi orange-merah..
Aku sadar bahwa tidak ada yang Kau turunkan untukku selain nikmatMu. Terima kasih. Banyak terima kasih. Ah.. Semua terima kasihku tidak cukup, aku kira.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
(Ar-rahman, 13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar