Rabu, 18 Februari 2009

Mencoba Berdamai dengan Kenyataan

Kemarin rasanya kangen banget sama Avand. Crap, rasanya kangen sama becandaannya yang garing. Sama sms-sms konyolnya. Sama cap-cap dia buat nutupin rambutnya yang abis gara-gara kemo. Sama curhatan panjang kita. Bahkan juga sama jadwal kemo-kemo dia. Nggak tahu kenapa. Dia kayak deket banget hari ini.

Waktu lagi ngomong-ngomong sama Wadek dan Tony soal HI, si Wadek bilang, si Avand dulu juga pengen ke HI. Saya jadi kebayang, gimana kalo seandainya dia masih ada, dan kita bisa nyari kampus bareng.

Jadi keinget malem itu, malem mendengar kabar itu dari babenya. First time i heard that, it was like taking a bullet. Shock banget. Saya kira kemo dia kali itu akan sama saja, kayak kemo-kemo sebelumnya. Tapi ternyata nggak. Dia pulang malem itu. Padahal pagi harinya, dia masih missed call saya. Padahal beberapa hari sebelumnya, dia masih ngotot sama saya, pengen namanya jadi nama tokoh utama di novel saya. Padahal sebulan sebelumnya, dia bilang udah sembuh sama saya. Padahal setahun sebelumnya, dia baru tahu bahwa di dalam dirinya ada tumor kelenjar getah bening.

Tapi kalo dia sendiri udah bisa berdamai dengan kematian, sudah seharusnya saya berdamai dengan kenyataan. Tapi kenyataannya berat juga untuk berdamai dengan kenyataan.

They are the reason, I do what do and I did what I did

Goo Goo Dolls - Iris